Selasa, 25 Januari 2011

I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Koperasi merupakan lembaga dimana orang-orang yang memiliki
kepentingan relatif homogen berhimpun untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Konsepsi demikian mendudukkan koperasi sebagai badan usaha yang cukup
strategis bagi anggotanya dalam mencapai tujuan-tujuan ekonomis yang pada
gilirannya berdampak kepada masyarakat secara luas. Di sektor pertanian
misalnya, peranserta koperasi di masa lalu cukup efektif untuk mendorong
peningkatan produksi khususnya di subsektor pangan. Selama era tahun 1980-an,
koperasi terutama KUD mampu memposisikan diri sebagai lembaga yang
diperhitungkan dalam program pengadaan pangan nasional. Ditinjau dari sisi
produksi pangan khususnya beras, peran signifikannya dapat diamati dalam hal
penyaluran prasarana dan sarana produksi mulai dari pupuk, bibit, obat-obatan,
RMU sampai dengan pemasaran gabah atau beras. Meskipun demikian dari sisi
konsumsi, ketersediaan bahan pangan bagi konsumen seringkali menjadi bahan
perbincangan sebab jaminan kualitas dan kuantitas tidak selalu terpenuhi.
Sementara itu, di dalam negeri telah terjadi berbagai perubahan seiring
dengan berlangsungnya era globalisasi dan liberalisasi ekonomi dan kondisi
tersebut membawa konsekuensi serius dalam hal pengadaan bahan pangan.
Secara konseptual liberalisasi ekonomi dengan menyerahkan kendali roda
perekonomian kepada mekanisme pasar ternyata dalam prakteknya belum tentu
secara otomatis berpihak kepada komunitas ekonomi lemah atau kecil. Kondisi
yang relatif identik berlangsung di sektor pangan dan diperkirakan karena belum
tertatanya sistem produksi dan distribusi dalam mengantisipasi perubahan yang
sudah terjadi. Semula peran Bulog sangat dominan dalam pengadaan pangan dan
penyangga harga dasar, tetapi sekarang setelah tiadanya paket skim kredit
pengadaan pangan melalui koperasi dan dihapuskannya skim kredit pupuk
bersubsidi maka pengadaan pangan hampir sepenuhnya diserahkan kepada
mekanisme pasar. Sebagai dampaknya, peran koperasi dalam pembangunan
pertanian dan ketahanan pangan semakin tidak berarti lagi. Bahkan sulit dibantah
apabila terdapat pengamat yang menyatakan bahwa pemerintah tidak lagi
2
memiliki konsep dan program pembangunan koperasi yang secara jelas
memposisikan koperasi dalam mendukung ketahanan pangan nasional.
Sebelum masa krisis (tahun 1997) terdapat sebanyak 8.427 koperasi yang
menangani ketersediaan pangan, sedangkan pada masa krisis (tahun 2000)
terjadi penurunan menjadi 7.150 koperasi (Kementerian Koperasi dan UKM,
2003). Fakta ini mengungkap berkurangnya jumlah dan peran koperasi dalam
bidang pangan, meskipun begitu beberapa koperasi telah melakukan inovasi
model-model pelayanan dalam bidang pangan seperti bank padi, lumbung
pangan, dan sentra-sentra pengolahan padi. Fakta lain menunjukkan bahwa
selama tiga tahun terakhir (tahun 2001–2003), terdapat kesenjangan antara
produksi padi dan jagung dengan kebutuhan konsumsi yang harus ditanggulangi
dengan impor. Akibatnya, ketahanan pangan di dalam negeri dewasa ini
menghadapi ancaman keterpurukan yang cukup serius. Ketahanan pangan
adalah kondisi terpenuhinya dan tersedianya pangan yang cukup baik jumlah
maupun mutunya dan terjangkau oleh rumahtangga. Konsep ketahanan pangan
lebih ditekankan pada konteks penawaran (supply side) yang tidak terpisahkan
dari proses distribusi dan pemasaran hingga ke pintu konsumen.
Bertitik tolak dari kondisi empirik tersebut, terdapat pemikiran untuk
meninjau kembali peran koperasi dalam mendukung ketahanan pangan nasional,
khususnya di sektor perberasan. Oleh karena itu, Kementerian Negara Koperasi,
Usaha Kecil dan Menengah (Kementerian KUKM) menganggap penting
dilakukannya suatu kajian strategis mengenai peran koperasi dalam menunjang
ketahanan pangan nasional.
1.2. Dimensi Permasalahan
Perubahan kebijakan pemerintah dalam distribusi pupuk dan pengadaan
beras memberikan dampak serius bagi ketahanan pangan nasional. Kepmen
Perindag Nomor : 378/MPP/KEP/8/1998 memberikan kewenangan penuh kepada
koperasi/ KUD menyalurkan pupuk kepada petani. Dampak kebijakan ini adalah
petani mudah memperoleh pupuk, tepat waktu, dan harga terjangkau (memenuhi
Prinsip 6 Tepat). Kini kebijakan tersebut telah berubah menjadi Kepmen Perindag
Nomor : 356/MPP/KEP/5/2004 yang membebaskan penyaluran pupuk dilakukan
baik oleh swasta maupun koperasi/KUD. Dampak perubahan kebijakan ini adalah
3
terjadinya kelangkaan persediaan pupuk bagi petani, harga pupuk lebih tinggi
di atas Harga Eceran Tertinggi (HET), kecenderungan monopoli penyaluran pupuk
oleh swasta, yang dengan sendirinya peran koperasi/KUD dalam penyaluran
pupuk menurun. Penurunan peran koperasi terlihat dari hanya 40 % atau 930 unit
dari 2.335 KUD (saat koperasi/KUD memiliki kewenangan penuh) terlibat dalam
tataniaga pupuk. Dalam kenyataannya jumlah inipun sulit teridentifikasi.
Dalam hal penanganan ketersediaan pangan, penurunan jumlah koperasi
dari 8.427 koperasi sebelum krisis (tahun 1997) menjadi 7.150 koperasi setelah
krisis (tahun 2000) juga merupakan indikasi penurunan peran koperasi dalam
menunjang ketahanan pangan (Kementrian Koperasi dan UKM, 2003). Padahal
koperasi selama ini telah memiliki sejumlah fasilitas penunjang (gudang, lantai
jemur, RMU, dan lain-lain) yang mendukung pengadaan produksi gabah/beras,
dan koperasi mewadahi sejumlah besar petani padi. Akumulasi kelangkaan dan
kenaikan harga pupuk dengan penurunan peran koperasi berdampak serius bagi
peningkatan produksi gabah/beras petani, dan mengindikasikan bahwa
kemampuan ketahanan pangan dari sisi penawaran (supply side) melemah.
Kekurangan produksi gabah/beras di dalam negeri selanjutnya akan dijadikan
alasan untuk membuka impor beras meskipun kita tahu bahwa hal ini mengancam
dan merugikan para petani.
Dalam hal pengadaan gabah/beras dan penyalurannya kepada konsumen,
kini tidak ada lagi skim kredit bagi koperasi untuk pembiayaan usaha pembelian
dan pemasaran pangan. Juga sesuai Inpres Nomor 9 tahun 2001 dan Inpres
Nomor 9 tahun 2002 tentang kebijakan perberasan, maka koperasi tidak berfungsi
lagi sebagai pelaksana tunggal pembelian gabah, tidak ada lagi kebijakan harga
dasar di tingkat petani, dan harga dasar pembelian gabah/beras petani hanya
ditetapkan oleh Bulog. Disini terdapat dua konsekuensi penting yaitu petani harus
memasuki mekanisme pasar, dan mereka harus menjamin kualitas gabah/beras
yang ditetapkan Perum Bulog. Petani diduga memiliki bargaining position yang
lemah dan karena itu akan sangat merugikan mereka dalam hal stabilitas
produksinya, tingkat pendapatannya, dan harga yang wajar diterima terutama
pada waktu panen raya.
Dalam kondisi mekanisme pasar yang belum menjamin posisi petani, dan
bahkan belum tentu juga menjamin ketersediaan pangan nasional, koperasi hadir
4
mengangkat posisi petani dan dapat menjamin ketersediaan pangan nasional.
Koperasi yang selama ini sudah eksis sebenarnya memiliki peran mendasar
dalam penguatan ekonomi petani yakni melalui penjaminan ketersediaan pupuk
dan harga terjangkau bagi petani, penanganan dan pengolahan gabah petani
di saat surplus maupun defisit produksi, penjaminan nilai tukar dan income petani,
membuka berbagai akses teknologi, informasi, pasar, dan bisnis kepada petani.
Dalam tujuan ketahanan pangan, koperasi telah mengembangkan beberapa
model pengamanan persediaan pangan diantaranya model bank padi, lumbung
pangan, dan sentra-sentra pengolahan padi. Model-model ini berperan menjamin
persediaan gabah/beras baik di daerah sentra produksi maupun daerah defisit
pangan dan sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap impor beras yang
sebenarnya secara substansial mengancam ketahanan nasional. Karena itu
bagaimana memerankan koperasi sebagai lembaga ekonomi petani dan
penguatan agribisnis di dalam perekonomian pasar sangatlah diperlukan.
Berdasarkan masalah di atas perlu dianalisis sejauh mana efektifitas
perubahan kebijakan pemerintah dimaksud (distribusi pupuk dan pengadaan
beras) yakni menyalurkan pupuk kepada petani guna meningkatkan produksi
gabah dan pengadaan gabah/beras untuk pencapaian ketahanan pangan bagi
masyarakat. Juga perlu dikaji pengembangan model bank padi, lumbung pangan,
dan sentra-sentra pengolahan padi guna memperkuat ketahanan pangan
nasional.
1.3. Tujuan Kajian
1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi peran koperasi dalam
menunjang ketahanan pangan berdasarkan perubahan kebijakan
pemerintah terhadap distribusi pupuk dan beras.
2. Menganalisis efektifitas penyaluran pupuk dan pengadaan gabah/beras
sesuai perubahan kebijakan pemerintah dimaksud.
3. Menganalisis dampak perubahan kebijakan tersebut terhadap penyediaan
gabah/beras di dalam negeri dan daya dukung koperasi dalam menunjang
ketahanan pangan.
4. Merumuskan model alternatif yang dapat diimplementasikan oleh koperasi
guna mendukung ketahanan pangan nasional.
5
1.4. Ruang Lingkup
Ruang lingkup kajian ini meliputi beberapa aspek antara lain :
1. Keragaan distribusi pupuk dari produsen hingga ke konsumen sesuai
perubahan kebijakan yang ada.
2. Pelayanan koperasi terhadap kegiatan produksi (gabah) petani dan
pengadaan gabah/beras oleh koperasi.
3. Pengembangan model bank padi, lumbung pangan, dan sentra-sentra
pengolahan padi untuk mendukung ketahanan pangan.
4. Kinerja kelembagaan koperasi dalam ketahanan pangan nasional.
5. Pola koperasi/KUD dalam distribusi pangan yang dirintis di beberapa
daerah.
6. Kebijakan daerah dan kebijakan nasional untuk ketahanan pangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar